Part seterusnya anda boleh masuk laman web youtube ea~~
Ikuti Cerita sebenar Dr Jeffrey Lang-
Sejak kecil Dr Jeffrey Lang dikenali dengan sifat ingin tahu. Beliau kerap menanyakan logiknya sesuatu dan mengkaji apa pun berdasarkan perspektif rasional.
“Ayah, ayah percayakah syurga itu wujud?” tanya Jeffrey sewaktu ia kecil kepada ayahnya tentang kewujudan syurga, ketika kedua-duanya berjalan bersama anjing peliharaan mereka di pantai. Bukan suatu kejutan jika kelak Jeffrey Lang menjadi profesor matematik, sebuah wilayah dimana tak ada tempat selain logik.
Ketika menjadi siswa tahun terakhir di Notre Dam Boys High, sebuah sekolah Katholik, Jeffrey Lang memiliki beberapa penolakan rasional terhadap keyakinan akan kewujudan Tuhan. Perbincangannya dengan pendita sekolah, orangtuanya, dan rakan sekelasnya tak juga mampu memuaskannya tentang kewujudan Tuhan. “Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey!” kata ayahnya ketika ia membantah kewujudan Tuhan di usia 18 tahun.
Ia akhirnya memutuskan menjadi atheis pada usia 18 tahun, yang berlangsung selama 10 tahun ke depan selama menjalani kuliah S1, S2, dan S3, hingga akhirnya memeluk Islam.
Adalah beberapa ketika sebelum atau sesudah memutuskan menjadi atheis, Jeffrey Lang mengalami satu mimpi. Berikut penuturan Jeffrey Lang tentang mimpinya itu:
Kami berada dalam sebuah ruangan tanpa sebarang perabot. Tak ada apa pun di tembok ruangan itu yang berwarna putih kelabu.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya lelaki, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di sebuah negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya dapat melihat sekejap bahagian punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan corak merah. Ketika itulah saya terbangun.
Satu-satunya ‘hiasan’ adalah karpet berpola dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil, seperti jendela ruang bawah tanah, yang terletak di atas dan menghadap ke kami. Cahaya terang mengisi ruangan melalui jendela itu.
Kami membentuk deretan. Saya berada di deret ketiga. Semuanya lelaki, tak ada wanita, dan kami semua duduk di lantai di atas tumit kami, menghadap arah jendela.
Terasa asing. Saya tak mengenal seorang pun. Mungkin, saya berada di sebuah negara lain. Kami menunduk serentak, muka kami menghadap lantai. Semuanya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Kami serentak kami kembali duduk di atas tumit kami. Saat saya melihat ke depan, saya sadar kami dipimpin oleh seseorang di depan yang berada di sisi kiri saya, di tengah kami, di bawah jendela. Ia berdiri sendiri. Saya hanya dapat melihat sekejap bahagian punggungnya. Ia memakai jubah putih panjang. Ia mengenakan selendang putih di kepalanya, dengan corak merah. Ketika itulah saya terbangun.
Sepanjang sepuluh tahun menjadi atheis, Jeffrey Lang beberapa kali mengalami mimpi yang sama. Bagaimanapun, ia tak terganggu dengan mimpi itu. Ia hanya merasa nyaman tatkala terjaga. Sebuah perasaan nyaman yang aneh. Ia tak tahu apa itu. Tak ada logik di sebalik itu, dan kerananya ia tak peduli sekalipun mimpi itu berulang.
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan murid tersebut, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga murid itu. Agama bukan menjadi topik bahasan tatkala Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Sekalipun tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak boleh hanya membaca Alquran, tidak boleh jika anda tidak menerimanya secara serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menentangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergelutan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ diri anda secara langsung, begitu personal. Alquran itu akan berdebat, mengkritik, memalukan, sekaligus mencabar anda. Sejak awal ia (Alquran) menggariskan satu garis perang, dan saya berada di wilayah yang bertentangan.”
“Saya menderita kekalahan yang parah (dalam pergelutan). Dari situ menjadi jelas bahawa 'Penulis' (Alquran) mengenali diri saya lebih baik daripada saya mengenali diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Penulisnya dapat membaca fikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan persoalan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus halangan yang telah saya hadapi bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencuba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergelutan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak ramai Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan solat. Selesai pergelutan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Selesai syahadat, waktu solat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk menyertainya. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka solat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat di hadapan, saya dapat melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan corak merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, sebijik! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya cuba memfokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bahagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitinya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematik University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia lapan tahun, Jameelah, selesai mereka solat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita solat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia lapan tahun. Saya tahu memang jawapan yang paling jelas, bahawa Muslim diwajibkan solat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari solat. Bagaimana pun, selesai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita solat kerana Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari solat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan solat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”
‘Dengar sini, buah hati kesayanganku. Tuhan itu sumber kesemua perasaan kasih sayang, cinta, pemurah dan hikmah terhadap segala keindahan — yang kita alami dan rasai. Seperti matahari sumber cahaya yang kita lihat pada siang hari, Tuhan ada sumber kepada semua ini dan banyak lagi. Justeru, kasih sayang yang ayah rasakan untukmu, adik-adikmu, dan ibumu kesemuanya datang dari Allah. Kita tahu Allah itu Pengasih dan Penyayang melalui segala pemberianNya kepada kita di dalam hidup ini. Tetapi hanya di dalam solat, kita dapat merasakan kasih sayang, pemurahnya Allah, dan nikmat pemberianNya itu di dalam cara yang teramat istimewa, di dalam cara yang amat kukoh.
Misalnya, anakku tahu yang ibumu dan ayahmu ini mengasihimu dengan cara kami berdua mengambil berat terhadapmu. tetapi hanya apabila kami memeluk dan menciummu, anakku akan dapat merasakan betapa sayangnya kami terhadapmu. Begitulah tamsilnya, kita tahu Allah menyayangi kita semua dan pemurahnya Dia kerana menjagai kita. Namun hanya pada waktu kita solat, kita dapat merasakan cintaNya itu terlalu benar dan istimewa.’
‘Apakah solat itu menjadikan ayah seorang ayah yang lebih baik?’ Dia bertanyaku.
‘Ayah harap begitu dan ayah harap dapat berfikir begitu, kerana apabila seseorang itu telah "disentuhi" dengan kasih sayang Tuhan di dalam solat, ia terlalu indah dan kukoh, sehinggakan seseorang itu merasakan ingin memperkongsikannya kepada mereka yang ada diskelilingnya, terutama kepada ahli keluarganya. Kadang-kala, selepas penat bekerja seharian, ayah merasa keletihan dan ayah ingin bersendirian. Tetapi jika ayah dapat merasai kasih sayang Allah di dalam solat, ayah akan segera teringat dan melihat ahli-ahli keluarga ayah dan mengingatkan betapa besarnya pemberian Allah menghadiahkan dirimu kepada ayah, dan kesemua cinta dan kasih sayang yang ayah perolehi kerana menjadi ayahmu dan suami kepada ibumu. Ayah tak kata ayah ini seorang yang sempurna, namun ayah percaya ayah tak mungkin menjadi ayah yang baik tanpa solat. Bolehkah diterima hujjah-hujjah ayah itu?’
‘Saya faham apa yang ayah maksudkan,’ jawab Jameelah.
Kemudian dia memeluk saya dan berkata, ‘Dan saya sayang sangat kat ayah!’
‘Ayah pun sayang padamu.’
Sepuluh tahun kemudian, saat pertama kali memberi kuliah di University of San Fransisco, dia bertemu murid Muslim yang mengikuti kelasnya. Tak hanya dengan murid tersebut, Jeffrey pun tak lama kemudian menjalin persahabatan dengan keluarga murid itu. Agama bukan menjadi topik bahasan tatkala Jeffrey menghabiskan waktu dengan keluarga sang murid. Hingga setelah beberapa waktu salah satu anggota keluarga sang murid memberikan Alquran kepada Jeffrey.
Sekalipun tak sedang berniat mengetahui Islam, Jeffrey mulai membuka-buka Alquran dan membacanya. Saat itu kepalanya dipenuhi berbagai prasangka.
“Anda tak boleh hanya membaca Alquran, tidak boleh jika anda tidak menerimanya secara serius. Anda harus, pertama, memang benar-benar telah menyerah kepada Alquran, atau kedua, ‘menentangnya’,” ungkap Jeffrey.
Ia kemudian mendapati dirinya berada di tengah-tengah pergelutan yang sangat menarik. “Ia (Alquran) ‘menyerang’ diri anda secara langsung, begitu personal. Alquran itu akan berdebat, mengkritik, memalukan, sekaligus mencabar anda. Sejak awal ia (Alquran) menggariskan satu garis perang, dan saya berada di wilayah yang bertentangan.”
“Saya menderita kekalahan yang parah (dalam pergelutan). Dari situ menjadi jelas bahawa 'Penulis' (Alquran) mengenali diri saya lebih baik daripada saya mengenali diri saya sendiri,” kata Jeffrey. Ia mengatakan seakan Penulisnya dapat membaca fikirannya. Setiap malam ia menyiapkan sejumlah pertanyaan dan persoalan, namun selalu mendapati jawabannya pada bacaan berikutnya, seiring ia membaca halaman demi halaman Alquran secara berurutan.
“Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya. Ia menghapus halangan yang telah saya hadapi bertahun-tahun lalu dan menjawab pertanyaan saya.” Jeffrey mencuba melawan dengan keras dengan keberatan dan pertanyaan, namun semakin jelas ia kalah dalam pergelutan. “Saya dituntun ke sudut di mana tak ada lain selain satu pilihan.”
Saat itu awal 1980-an dan tak ramai Muslim di kampusnya, University of San Fransisco. Jeffrey mendapati sebuah ruangan kecil di basement sebuah gereja di mana sejumlah mahasiswa Muslim melakukan solat. Selesai pergelutan panjang di benaknya, ia memberanikan diri untuk mengunjungi tempat itu.
Beberapa jam mengunjungi di tempat itu, ia mendapati dirinya mengucap syahadat. Selesai syahadat, waktu solat dzuhur tiba dan ia pun diundang untuk menyertainya. Ia berdiri dalam deretan dengan para mahasiswa lainnya, dipimpin imam yang bernama Ghassan. Jeffrey mulai mengikuti mereka solat berjamaah.
Jeffrey ikut bersujud. Kepalanya menempel di karpet merah-putih. Suasananya tenang dan hening, bagaikan semua suara dimatikan. Ia lalu kembali duduk di antara dua sujud.
“Saat saya melihat di hadapan, saya dapat melihat Ghassan, di sisi kiri saya, di tengah-tengah, di bawah jendela yang menerangi ruangan dengan cahaya. Dia sendirian, tanpa barisan. Dia mengenakan jubah putih panjang. Selendang (scarf) putih menutupi kepalanya, dengan corak merah.”
“Mimpi itu! Saya berteriak dalam hati. Mimpi itu, sebijik! Saya telah benar-benar melupakannya, dan sekarang saya tertegun dan takut. Apakah ini mimpi? Apakah saya akan terbangun? Saya cuba memfokus apa yang terjadi untuk memastikan apakah saya tidur. Rasa dingin mengalir cepat ke seluruh tubuh saya. Ya Tuhan, ini nyata! Lalu rasa dingin itu hilang, berganti rasa hangat yang berasal dari dalam. Air mata saya bercucuran.”
Ucapan ayahnya sepuluh tahun silam terbukti. Ia kini berlutut, dan wajahnya menempel di lantai. Bahagian tertinggi otaknya yang selama ini berisi seluruh pengetahuan dan intelektualitinya kini berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT.
Jeffrey Lang merasa Tuhan sendiri yang menuntunnya kepada Islam. “Saya tahu Tuhan itu selalu dekat, mengarahkan hidup saya, menciptakan lingkungan dan kesempatan untuk memilih, namun tetap meninggalkan pilihan krusial kepada saya,” ujar Jeffrey kini.
Jeffrey kini professor jurusan matematik University of Kansas dan memiliki tiga anak. Ia menulis tiga buku yang banyak dibaca oleh Muslim AS: Struggling to Surrender (Beltsville, 1994); Even Angels Ask (Beltsville, 1997); dan Losing My Religion: A Call for Help (Beltsville, 2004). Ia memberi kuliah di banyak kampus dan menjadi pembicara di banyak konferensi Islam.
Ia memiliki tiga anak, dan bukan sebuah kejutan anaknya memiliki rasa keingintahuan yang sama. Jeffrey kini harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sama yang dulu ia lontarkan kepada ayahnya. Suatu hari ia ditanya oleh anak perempuannya yang berusia lapan tahun, Jameelah, selesai mereka solat Ashar berjamaah. “Ayah, mengapa kita solat?”
“Pertanyaannya mengejutkan saya. Tak sangka berasal dari anak usia lapan tahun. Saya tahu memang jawapan yang paling jelas, bahawa Muslim diwajibkan solat. Tapi, saya tak ingin membuang kesempatan untuk berbagi pengalaman dan keuntungan dari solat. Bagaimana pun, selesai menyusun jawaban di kepala, saya memulai dengan, ‘Kita solat kerana Tuhan ingin kita melakukannya’,”
“Tapi kenapa, ayah, apa akibat dari solat?” Jameela kembali bertanya. “Sulit menjelaskan kepada anak kecil, sayang. Suatu hari, jika kamu melakukan solat lima waktu tiap hari, saya yakin kami akan mengerti, namun ayah akan coba yang terbaik untuk menjawan pertanyaan kamu.”
‘Dengar sini, buah hati kesayanganku. Tuhan itu sumber kesemua perasaan kasih sayang, cinta, pemurah dan hikmah terhadap segala keindahan — yang kita alami dan rasai. Seperti matahari sumber cahaya yang kita lihat pada siang hari, Tuhan ada sumber kepada semua ini dan banyak lagi. Justeru, kasih sayang yang ayah rasakan untukmu, adik-adikmu, dan ibumu kesemuanya datang dari Allah. Kita tahu Allah itu Pengasih dan Penyayang melalui segala pemberianNya kepada kita di dalam hidup ini. Tetapi hanya di dalam solat, kita dapat merasakan kasih sayang, pemurahnya Allah, dan nikmat pemberianNya itu di dalam cara yang teramat istimewa, di dalam cara yang amat kukoh.
Misalnya, anakku tahu yang ibumu dan ayahmu ini mengasihimu dengan cara kami berdua mengambil berat terhadapmu. tetapi hanya apabila kami memeluk dan menciummu, anakku akan dapat merasakan betapa sayangnya kami terhadapmu. Begitulah tamsilnya, kita tahu Allah menyayangi kita semua dan pemurahnya Dia kerana menjagai kita. Namun hanya pada waktu kita solat, kita dapat merasakan cintaNya itu terlalu benar dan istimewa.’
‘Apakah solat itu menjadikan ayah seorang ayah yang lebih baik?’ Dia bertanyaku.
‘Ayah harap begitu dan ayah harap dapat berfikir begitu, kerana apabila seseorang itu telah "disentuhi" dengan kasih sayang Tuhan di dalam solat, ia terlalu indah dan kukoh, sehinggakan seseorang itu merasakan ingin memperkongsikannya kepada mereka yang ada diskelilingnya, terutama kepada ahli keluarganya. Kadang-kala, selepas penat bekerja seharian, ayah merasa keletihan dan ayah ingin bersendirian. Tetapi jika ayah dapat merasai kasih sayang Allah di dalam solat, ayah akan segera teringat dan melihat ahli-ahli keluarga ayah dan mengingatkan betapa besarnya pemberian Allah menghadiahkan dirimu kepada ayah, dan kesemua cinta dan kasih sayang yang ayah perolehi kerana menjadi ayahmu dan suami kepada ibumu. Ayah tak kata ayah ini seorang yang sempurna, namun ayah percaya ayah tak mungkin menjadi ayah yang baik tanpa solat. Bolehkah diterima hujjah-hujjah ayah itu?’
‘Saya faham apa yang ayah maksudkan,’ jawab Jameelah.
Kemudian dia memeluk saya dan berkata, ‘Dan saya sayang sangat kat ayah!’
‘Ayah pun sayang padamu.’
sumber: asal
No comments:
Post a Comment